Ngeteh bareng teman masa kecil


Siang hari disaat kepala panas karena kerjaan, iseng buka status WhatsApp dan muncul foto salah satu teman masa kecil yang lagi ngumpul sama teman-teman dari kampung sesama perantauan di Gresik. Meskipun sama-sama tinggal di Gresik, namun kami tidak pernah dengan sengaja bertemu, pernah sekali ketemu tapi itu karena kebetulan semata. Langsung saya minta share location dan langsung pancal pedal ke tempat pertemuan yang jaraknya sekitar 3 km dari rumah.

Di warung kopi yang cukup ramai, kami mulai ngobrol dan lumayan kaget juga melihat satu sama lain. Tentunya karena ukuran badan sudah jauh berbeda, mungkin sudah 10 tahun lebih kami tidak pernah bertemu. Mulai bicara ngalor-ngidul soal kampung halaman sampai akhirnya bicara bisnis. Dari sekitar 2 jam obrolan seru tadi, ada dua hal yang saya rasa menarik untuk dicatat, pertama mengenai pilkades yang merusak kerukunan dan hutang yang memotivasi orang untuk bekerja keras (versi mereka hehehe).

Yang pertama tentang Pilkades di kampung halaman. Sebenarnya sudah dari 2 tahun yang lalu, kalau tidak salah, Pilkades berakhir. Tapi sampai sekarang sesama pendukung paslon belum bisa rukun, bahkan dengan tetangga sebelah rumah pun ada yang masih belum bertegur sapa, miris sekali. Demokrasi yang katanya untuk mendapatkan pemimpin yang ideal ternyata justru memecah belah masyarakat. Kondisi ini saya lihat juga di beberapa lokasi desa binaan, bagaimana pesta demokrasi di tingkat bawah (Desa) justru membuat masyarakatnya terbelah, dan situasinya masih terus berlanjut panjang paska pilkades. Entah apa yang sebaiknya dilakukan, kita butuh pemimpin pemersatu, yang mengayomi keseluruhan, bukan golongan. Ini berlaku tidak hanya tingkat desa, namun juga tingkat nasional. Demokrasi yang diidam-idamkan itu sepertinya belum sesuai dengan kondisi masyarakat kita, yang seharusnya dewasa dalam berdemokrasi.

Yang kedua adalah tentang hutang. Bukan mengumbar kabar soal berhutang, saya sendiri juga pernah dan masih berhutang. Tapi ada pernyataan yang dibenarkan oleh 3 teman saya, asisten rumah tangga kami, dan salah satu saudara, bahwa

“bekerja lebih semangat kalau punya hutang, atau untuk mempunyai sesuatu maka harus dengan berhutang, karena susah sekali menabung”

Ternyata pernyataan tersebut disetujui oleh sebagian besar orang. Sayapun pernah berada pada situasi yang sama. Suatu ketika kami membeli motor dan rumah dengan cara kredit, dan ternyata setelah berjalan bukan kebahagiaan yang kami rasakan. Kebahagiaan kami ternyata adalah saat tidak ada tanggungan cicilan. Dari kejadian itu kami putuskan untuk tidak lagi berhutang/ ambil cicilan untuk mendapatkan sesuatu. Kalau ada rezeki ya dibeli kalo sedang tidak ada dana ya cukup jadi keinginan semata. Terlebih saat pandemi seperti sekarang ini, dengan pekerjaan yang tidak menentu ternyata bagi kami kenikmatan terbesar adalah tidak punya tanggungan cicilan, meskipun kami juga belum punya apa-apa :D.

Semoga teman-teman semua yang punya tanggungan cicilan diberi kelancaran dan kemudahan untuk melunasi segera, dan kuat iman biar tidak tergoda menyicil lagi hehehe.

Hari sudah semakin siang dan saatnya melanjutkan kembali pekerjaan. Sayapun kembali ke rumah sambil gowes sekalian bakar lemak di siang bolong menyusuri jalanan Telaga Ngipik. Di tengah perjalanan terlihat 2 orang polisi yang sedang menghentikan 2 orang pengendara sepeda motor, satu di kiri jalan, satu lagi di kanan jalan. Sebuah kebetulan, atau entahlah.

Leave a comment